Oleh : Rizki Kurniawan Nakasri, Pimpinan Bank Infaq Sumbar
Berdasarkan data dari Bank Indonesia, pada 2018 inklusi keuangan kita hanya 49%, artinya lebih dari setengah penduduk Indonesia tidak memiliki akses kepada lembaga keuangan formal. Data Bank Indonesia juga (2016), melalui pendekatan rekening, hanya 22% dari total UMKM yang memiliki akses kepada kredit perbankan. Artinya 78% UMKM kita tidak memiliki akses permodalan ke lembaga keuangan formal.
Mereka yang jumlahnya sangat besar ini menjadi sasaran penyedia jasa keuangan berbiaya ekstra tinggi. Walaupun demikian, masyarakat tidak ada solusi lain.
Karakter penyedia jasa keuangan berbiaya tinggi itu sebagai berikut, pertama menyasar segmen mikro dan ultramikro. Kedua, bunga berkisar antara 250% – 600% per tahun. Ketiga bunga majemuk (bunga menjadi pokok apabila tidak dibayar) sehingga sangat mencekik dan menimbulkan masalah sosial. Keempat, menyasar target dengan pendekatan personal atau kelompok. Kelima, metode door to door, arisan, keliling, pagi-sore, mingguan, bulanan, dan lain sebagainya.
Akibatnya banyak masyarakat tercekik bunga tinggi, hutang riba tidak kunjung lunas, dekat kepada kekufuran, hingga timbulnya masalah sosial dalam masyarakat. Inilah yang mengakibatkan banyaknya saudara kita yang produktif akan tetapi ekonominya jalan di tempat, karena tidak berdaya dan pendapatan mereka tersedot terus menerus.
Hal-hal di atas yang mendasari lahirnya gerakan optimalisasi infaq, sehingga didirikanlah Yayasan Infaq Dunia kemudian mengusung brand Bank Infaq. Saat ini kami bertugas untuk mendorong lahirnya Bank Infaq sebanyak-banyaknya di Sumatera Barat. Bagi sahabat yang tertarik silahkan hubungi kami.